<< Kembali ke Peta << Kembali ke Gambar Rumah
Sejarah Kebijakan Publik terkait Pelayanan Jantung sampai dengan Tahun 2023 |
1. Periode Pasca Reformasi
Sejak dibentuknya Kabinet Reformasi, telah dilakukan redefinisi terhadap visi, misi, dan strategi pembangunan kesehatan. Tahun 1999, setelah krisis moneter dan reformasi politik di Indonesia, sektor kesehatan Indonesia juga mengalami desentralisasi sebagai konsekuensi desentralisasi di bidang politik. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah provinsi dan kabupaten dapat menetapkan kebijakan, termasuk kebijakan kesehatan, sehingga di tiap daerah, sistem kesehatan dapat mempunyai perbedaan.
Transisi Epidemiologi: Penyakit Menular ke Penyakit Tidak Menular
Angka kemiskinan yang meningkat tajam setelah krisis keuangan serta goncangan lainnya mendorong munculnya kebijakan program jaminan untuk rakyat miskin berupa Social Safety Net/Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK), Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi-Bidang Kesehatan (PDPSE-BK), dan dilanjutkan dengan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) yang, berdasarkan Review Sistematis Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin 1999-2005, berpengaruh positif bagi peningkatan akses dan utilisasi yankes dasar bagi masyarakat miskin pada masa krisis. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah meluncurkan program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin) dengan cakupan yang meliputi yankes dasar serta pelayanan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Transisi pola penyakit dari penyakit menular ke PTM terdeteksi dengan adanya hasil SKRT 1980-2000 dimana proporsi kematian akibat infeksi menurun secara signifikan, sementara kematian akibat penyakit degeneratif meningkat dua hingga tiga kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Namun, karena kesenjangan ekonomi yang tajam akibat krisis ekonomi, pemerintah menghadapi beban ganda (double burden) dengan penyakit infeksi yang dominan pada kelompok miskin dan penyakit degeneratif yang dominan pada kelompok kaya.
Pemerintah kemudian melakukan redefinisi terhadap visi, misi, dan strategi pembangunan kesehatan. Kebijakan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 574/Menkes/SK/IV/2000 dan mencanangkan visi “Indonesia Sehat 2010” dengan indikator Indonesia Sehat 2010 antara lain angka kematian bayi, angka kematian balita, angka kematian ibu, angka harapan hidup waktu lahir, angka kesakitan malaria, angka kesembuhan TB Paru BTA (+), prevalensi HIV, angka Acute Flaccid Paralysis (AFP), dan angka kesakitan DBD. Jika menilik pada tujuan dan indikator ini, terlihat bahwa pada masa itu kebijakan upaya kesehatan untuk PTM telah dipertimbangkan, namun fokus utama masih pada penanggulangan penyakit menular seperti malaria, TB, HIV, AFP, maupun DBD.
Millennium Development Goals (MDGs)
MDGs menjadi referensi penting pembangunan kesehatan di Indonesia yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Fokus Indonesia terkait MDGs di bidang kesehatan adalah pada angka kematian anak, kesehatan ibu, dan penyakit menular, sementara masalah PTM berupa penyakit jantung belum menjadi perhatian utama di Indonesia.
2. Periode Era JKN (2009-2019)
Kebijakan pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Periode ini diawali dengan pengesahan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam hal PTM, UU ini mengamanatkan pengendalian PTM dalam Bab X Bagian Kedua. Dalam Pasal 161 disebutkan bahwa manajemen pelayanan kesehatan PTM meliputi keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, namun dititikberatkan pada deteksi dini dan pengobatan.
Sustainable Development Goals (SDGs)
PTM telah menjadi isu strategis dalam agenda SDGs 2030 sehingga harus menjadi prioritas pembangunan di setiap negara. Tujuan pembangunan berkelanjutan yang ketiga yaitu good health and well-being memiliki sejumlah sasaran dan target diantaranya menurunkan angka kematian dini akibat PTM melalui upaya pencegahan dan pengobatan yang tepat. Penyakit tidak menular memiliki kontribusi terhadap hampir 86 persen kasus kematian secara global pada tahun 2016 yang disebabkan oleh kelompok penyakit kardiovaskuler, kanker, diabetes dan gangguan respiratorik kronis (WHO Regional Office for Europe, 2019) .
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2), mengamanatkan negara memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat Indonesia. Jaminan ini ditetapkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Menyusul terbentuknya UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sistem jaminan sosial di bidang kesehatan resmi beroperasi sejak 1 Januari 2014 dan disebut sebagai program JKN.
Indonesia memiliki tujuan untuk menjamin akses ke semua layanan kesehatan termasuk pembiayaan layanan kardiovaskuler bagi seluruh penduduk sejak diterbitkan UU SJSN dan UU BPJS (Mundiharno & Thabrany, 2012). Seperti yang telah diulas dalam Laporan Reviu Kebijakan Program JKN, 30% dari total klaim BPJS Kesehatan digunakan untuk 5 penyakit katastropik, dimana penyakit jantung merupakan salah satu dari penyakit katastropik yang dimaksud bersama dengan diabetes, kanker, stroke dan gagal ginjal. Di tahun 2018, BPJS Kesehatan telah membayar lebih dari Rp 18 Triliun (24,81 persen) dari seluruh pembiayaan JKN yang ada untuk penyakit kardiovaskuler sebagai penyakit dengan pembiayaan tertinggi. Data tersebut menjelaskan lebih dalam bahwa satu orang peserta dengan penyakit jantung menghabiskan lebih dari Rp 40 juta pertahun. Jumlah peserta JKN dengan diagnosa penyakit jantung bertambah hingga 9.667 per tahun dan total peserta tersebut adalah 48.342 (BPJS Kesehatan, 2018).
Untuk mengurai biaya layanan penyakit kardiovaskuler yang begitu besar, kebijakan seperti kapitasi berbasis komitmen (KBK) dimaksudkan untuk mengurangi angka rujukan Nonspesialistik ke rumah sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Namun, fakta yang ditemukan dilapangan bervariasi dimana ada puskesmas yang memiliki nilai kapitasi yang kecil karena tidak mempu menyediakan dokter umum (Yandrizal et al., 2016). Kekosongan dokter umum menjadi salah satu faktor yang akan berdampak ketidaksiapan puskesmas untuk melayani penyakit kardiovaskuler (The World Bank, 2014; World Bank Group, 2018). Masalah disparitas dalam layanan kardiovaskuler tersebut berdampak keadilan sosial dalam stuktur sosial dan sistem ekonomi (Cooper et al., 2016).
3. Periode Post-Pandemi Covid-19
Pada tahun 2023, Kementerian Kesehatan mencanangkan program jejaring pengampuan kardiovaskular sebagai bagian sari salah satu pilar transformasi kesehatan yaitu Transformasi Layanan Rujukan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Transformasi Layanan Rujukan salah satunya diwujudkan dalam program pengampuan penyakit kardiovaskuler yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1341/2023 yang diterjemahkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor Hk.02.02/D/39246/2024 Tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kardiovaskular. Program pengampuan ini diharapkan dapat mengoptimalisasi pelayanan di rumah sakit dengan misi pemerataan pelayanan kardiovaskular nasional melalui peningkatan kemampuan SDM, sarana, prasarana, dan alat kesehatan, serta penatalaksanaan dan rujukan dalam pelayanan kesehatan yang diberikan melaui transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan. Program ini diwujudkan dalam bentuk pengampuan pelayanan penyakit jantung mulai dari proses diagnostik, termasuk diagnostik invasif, hingga intervensi non bedah maupun tindakan bedah pintas (by pass) arteri koroner. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan kardiovaskular.
Semua Kebijakan mengenai Jantung sebagai bukti sejarah dapat diklik di bawah ini
Daftar Kebijakan Pengelolaan Penyakit Jantung di Indonesia
: Kebijakan pengelolaan penyakit tidak menular termasuk jantung | |
: Kebijakan yang mengatur sektor kesehatan | |
: Kebijakan yang mengatur sektor kesehatan |